Analisis Strategi Bisnis – Studi Kasus Rantai Busana
Zara
(International Business Essay)
Disusun Oleh:
Hansel Bagus Tritama
08120120017
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
FAKULTAS ILMU KOMPUTER
JURUSAN SISTEM INFORMASI
TANGERANG
2015
Di dunia
bisnis yang semakin dinamis seperti saat ini, banyak produk dan kompetitor
berdatangan dengan cepat setiap harinya. Hal ini membuat para pebisnis
kesulitan untuk dapat mempertahankan bisnisnya agar tetap konsisten dan laku di
pasar. Banyak sekali bisnis yang tidak mampu bertahan di pasar karena semakin
banyaknya produk dan pesaing yang bermunculan, terutama bisnis tata busana atau
lebih dikenal dengan fashion. Banyak
perusahaan fashion yang telah menutup
tokonya dikarenakan kurang mampunya mempertahankan daya saing di pasar,
contohnya: Lowrys Farm, sebuah perusahaan tata busana asal Jepang, yang telah
menutup semua tokonya di Singapore pada tahun 2015 ini dikarenakan tidak mampu
bersaing dengan brand lain yang
berada di Singapore[1]. Namun, bukan berarti tidak ada bisnis yang
mampu bertahan karena banyaknya produk dan pesaing yang hadir setiap harinya.
Zara adalah salah satu bisnis tata busana yang berhasil menghadapinya.
Zara, bisnis tata busana yang
berasal dari Arteixo, sebuah kota kecil di sebelah Utara Spanyol, yang
ditemukan pada tahun 1975, merupakan bisnis tata busana terbesar dan tersukses
di dunia[2]. Zara merupakan anak perusahaan dari perusahaan tata
busana terbesar asal Spanyol yang bernama Inditex. Inditex adalah perusahaan
ritel garmen terbesar di dunia, setelah H&M (Hennes & Mauritz),
perusahaan garmen asal Swedia, dan GAP, perusahaan garmen asal Amerika[3].
Inditex terdiri dari tujuh anak perusahaan, yaitu: Skhuaban, Pull and Bear,
Massimo Dutti, Bershka, Stradivarius, Oysho dan Zara. Semuanya itu terkumpul
menjadi satu nama, yaitu Inditex Group.
Dari ketujuh anak perusahaan Inditex, yang menjadi tulang punggung perusahaan
adalah Zara, dimana dua-per-tiga total penjualan Inditex berasal dari Zara[4].
Melihat
kesuksesan zara yang begitu luar biasa, penulis telah melakukan analisis untuk
mencari tahu strategi bisnis apa yang digunakan oleh Zara sehingga ia dapat berkompetisi
mempertahankan bisnis tata busananya terhadap kompetitor yang semakin banyak. Berdasarkan
hasil analisis penulis, penulis menemukan dua strategi bisnis yang Zara lakukan
agar dapat berkompetisi:
1. Blue Ocean
Strategy atau disebut Strategi
Samudra Biru. Menurut, M. Suyanto, seorang ketua STMIK AMIKOM Yogyakarta,
Direktur Primagama Group, serta Direktur Pusat Pendidikan Komputer dan
Manajemen IMKI (sekolah komputer di Yogyakarta), dalam bukunya yang berjudul smart in entrepreneurship, Blue Ocean Strategy adalah
strategi bisnis yang menciptakan ruang pasar yang tidak ada lawannya[5].
Sedangkan menurut Dyah Hasto, seorang wartawan majalah Ekonomi dan Bisnis SWA
(Swasembada), dalam bukunya yang berjudul Advertising
that Sells, Blue Ocean Strategy adalah
strategi yang menciptakan cara baru yang belum disadari oleh para pesaing,
sehingga kata “kompetisi” pun menjadi tidak relevan[6]. Berdasarkan
pengertian kedua ahli di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa blue ocean strategy adalah suatu siasat
bisnis untuk menaklukan pesaing melalui cara yang inovatif, yang seakan tidak
disadari oleh pesaingnya.
Strategi ini digunakan
oleh Zara dimana banyak kompetitor yang masih menggunakan strategi operational effectiveness. Opeerational effectiveness adalah strategi
bisnis dengan cara melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan oleh
kompetitor, namun melakukannya dengan lebih baik[7]. Pada tahun
2000-2007, banyak perusahaan tata busana yang menggunakan strategi operational effectiveness dengan melakukan
outsourcing (produk atau jasa yang
diproduksi secara internal, tetapi menggunakan penyedia jasa di luar perusahaan
(Chandra:15)[8]) ke China karena biaya karyawan yang relatif lebih
murah. Contohnya adalah UNIQLO (baca: u-ni-ku-ro), sebuah perusahaan tata
busana asal Jepang yang 90% produk penjualannya diproduksi di China[9].
Zara tidak melakukan strategi operational
effectiveness karena strategi ini dapat memunculkan bahaya adanya
“kesamaan” produk atau layanan antar perusahaan tata busana. Yang Zara lakukan
adalah mengintegrasi permintaan dan pemasokan secara vertikal atau setara
dengan cara memproduksi produk secara in-house
(memproduksi sendiri secara internal tanpa bantuan jasa dari luar perusahaan /
luar negeri[10]) daripada outsourcing.
Berdasarkan bacaan yang ada, tujuan Zara melakukan in-house adalah:
·
Mempercepat perubahan produk (product turnover). Jika menggunakan outsourcing, suatu produk akan sampai
kembali ke perusahaan membutuhkan waktu selama 60 sampai 90 hari. Dengan in-house, produk yang dibuat hanya
membutuhkan waktu 12 sampai 15 hari, sehingga Zara dapat dengan cepat mengubah
model 2 minggu sekali agar customer
tidak bosan dengan model yang ada;
·
Mempermudah pengendalian atau
pengontrolan kegiatan produksi busana. Dalam kegiatan produksi in-house ini, Zara menggunakan Teknologi
Informasi untuk mengontrol setiap kegiatan yang ada, dari desain lo-fi prototype (desain yang belum
menggunakan komputer[11]) sampai desain tersebut menjadi produk. Hal
ini dilakukan Zara dengan mensetralisasi (centralized)
setiap kegiatan pendesainan, dimana setiap desain busana yang didesain oleh
desainer Zara langsung terkoneksi ke PDA (Personal
Digital Assistant) manajer toko untuk disaring, kemudian manajer
mengirimkannya langsung ke desainer yang ada di Spanyol untuk decision making. Bukan hanya desain,
setiap permasalahan yang muncul pada Zara juga langsung terhubung ke pusatnya
di Spanyol. Sehingga, melalui in-house
pengendalian aktivitas dapat dilakukan dengan begitu mudah; dan
·
Memproduksi produk dengan jumlah sedikit
/ small batches. Dengan in-house, hal ini sangat memungkinkan
karena outsourcing tidak menerima
pembuatan produk dengan jumlah yang sedikit, mereka hanya menerima mass-production. Hal ini dilakukan oleh
Zara guna untuk menjaga agar toko tetap fresh
dengan barang-barang baru setiap dua minggu sekali. Hal ini juga dapat
meningkatkan nilai kelangkaan pada setiap produk Zara.
2. Strategi
strategic positioning. Menurut Robert
Kaplan, seorang profesor Pengembangan Kepemimpinan (leadership development) Harvard
University asal New York, dalam bukunya yang berjudul Harvard Business Review on Advances in Strategy, strategic positioning adalah tindakan
untuk melakukan hal yan berbeda dengan kompetitor guna untuk memberikan nilai
unik kepada customers[12].
Sedangkan menurut Kerim Galal, seorang dosen Manajemen di Universitas Munster
asal Jerman, dalam bukunya yang berjudul Strategic
Positioning in the Consulting Industry, strategic positioning adalah tindakan
yang memaksa perusahaan untuk mencari keunggulan pada pasar yang ada[13].
Berdasarkan pengertian dua ahli di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa strategic positioning adalah suatu
tindakan perusahaan unuk melakukan yang berbeda dari para pesaing guna untuk
memperoleh keunggulan di pasar serta nilai unik di mata pelanggan.
Berdasarkan bacaan yan ada, berikut adalah strategic positioning yang dilakukan
oleh Zara:
Ø Mengintegrasi
teknologi dengan aktivitas produksi. Hal ini sangat membantu Zara dalam
menentukan desain mana yang unik yang perlu diproduksi. Bukan hanya itu,
melalui teknologi informasi yang dikembangkan Zara, teknologi tersebut juga
dapat mempercepat pengambilan keputusan oleh manajer pusat Zara yang ada di
Spanyol. Sehingga desain-desain yang dikeluarkan Zara benar-benar desain yang
unik karena secara implisit telah disetujui oleh semua desainer yang ada di
dalam Zara;
Ø Mengeluarkan
model yang berbeda setiap dua minggu sekali. Hal ini membuat pakaian Zara
menjadi pakaian yang langka di mata konsumen, sehingga keinginan untuk membeli
pada customer meningkat karena takut
barang tersebut sudah tidak ada lagi minggu depan untuk selamanya; dan
Ø Zara
membukakan kesempatan bagi para anak muda yang memiliki kesenangan dalam dunia fashion untuk dapat menyampaikan
aspirasi mereka langsung ke Zara melalui communication
device mereka atau smartphone. Dengan
hal tersebut, model yang dikeluarkan Zara menjadi semakin fashionable atau sesuai dengan tata busana yang diingini oleh customer secara global. Melalui ini juga
Zara dapat membangun relasi lebih lagi dengan para pembeli.
Kesimpulannya, terdapat dua strategi
bisnis yang Zara lakukan untuk tetap dapat memenangkan kompetisi berdasarkan
hasil analisis penulis, yaitu: Blue Ocean
Strategy, dimana Zara mencoba keluar dari cara yang digunakan oleh para
kompetitor (red ocean) menuju cara
yang baru yang belum disadari oleh para kompetitor (blue ocean) yaitu in-house
production, dan strategic positioning,
dimana Zara mencari jalan yang berbeda untuk dapat memperoleh nilai unik di
mata pelanggan. Strategic positioning lebih
terfokus pada relasi antar Zara dan customer,
sedangkan blue ocean strategy lebih
fokus kepada aktivitas operasional internal Zara. Kedua strategi itulah yang
menyebabkan Zara sampai saat ini masih dapat memenangkan kompetisi tata busana
di dunia dan bahkan dinobatkan sebagai retil tata busana terbesar di dunia.
Daftar Pustaka
[1] http://www.straitstimes.com/news/business/more-business-stories/story/japanese-fashion-label-closing-all-eight-outlets-20150110.
10 Januari 2015. 08:21 WIB.
[2] Badia,
Enrique. (2009). Zara and Her Sisters:
The Story of the World's Largest Clothing Retailer. Palvrage Macmillan,
Stoke.
[3] Torun,
Fatma. (2004). ZARA - A European Fashion
Brand. Druck and Bindung, Norderstedt.
[4] KPMG. (2003).
Ein Ausblick für die Branchen Food,
Fashion & Footwear. Trends im, Handel.
[5] M. Suyanto. (2007).
Smart in Entrepreneurship: Revolusi
Strategis. ANDI Offset, Yogyakarta.
[6] Hasto, Dyah.
(2008). Advertising That Sells. Gramedia,
Jakarta.
[7] Tripa,
Simona. (2007). STRATEGY AND SUSTAINABLE
COMPETITIVE ADVANTAGE--THE CASE OF ZARA FASHION CHAIN. Annals, Oradea University.
[8] Suwondo,
Chandra. (2003). Outsourcing : Implementasi
di Indonesia. Gramedia, Jakarta.
[9] Osius, Ted. (2002).
The U.S.-Japan Security Alliance: Why it
Matters and how to Strengthen it. Praeger Publisher, USA.
[10] Hall,
James. (2011). Information Technology
Auditing and Assurance. Cengage Learning, USA.
[11] Laudon,
Kenneth. (2012). E-Commerce. Pearson,
Inggris.
[12] Kaplan,
Robert. (2002). Harvard Business Review
on Advances in Strategy. Harvard Business School Press, Boston.
[13] Galal,
Kerim. (2014). Strategic Positioning in
the Consulting Industry. Josef Eul Verlag, Lohmar.