Sunday, March 8, 2015

International Business Essay (Quiz)

Analisis Strategi Bisnis – Studi Kasus Rantai Busana Zara
(International Business Essay)






Disusun Oleh:
Hansel Bagus Tritama
08120120017


UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
FAKULTAS ILMU KOMPUTER
JURUSAN SISTEM INFORMASI
TANGERANG
2015



             Di dunia bisnis yang semakin dinamis seperti saat ini, banyak produk dan kompetitor berdatangan dengan cepat setiap harinya. Hal ini membuat para pebisnis kesulitan untuk dapat mempertahankan bisnisnya agar tetap konsisten dan laku di pasar. Banyak sekali bisnis yang tidak mampu bertahan di pasar karena semakin banyaknya produk dan pesaing yang bermunculan, terutama bisnis tata busana atau lebih dikenal dengan fashion. Banyak perusahaan fashion yang telah menutup tokonya dikarenakan kurang mampunya mempertahankan daya saing di pasar, contohnya: Lowrys Farm, sebuah perusahaan tata busana asal Jepang, yang telah menutup semua tokonya di Singapore pada tahun 2015 ini dikarenakan tidak mampu bersaing dengan brand lain yang berada di Singapore[1]. Namun, bukan berarti tidak ada bisnis yang mampu bertahan karena banyaknya produk dan pesaing yang hadir setiap harinya. Zara adalah salah satu bisnis tata busana yang berhasil menghadapinya.
            Zara, bisnis tata busana yang berasal dari Arteixo, sebuah kota kecil di sebelah Utara Spanyol, yang ditemukan pada tahun 1975, merupakan bisnis tata busana terbesar dan tersukses di dunia[2]. Zara merupakan anak perusahaan dari perusahaan tata busana terbesar asal Spanyol yang bernama Inditex. Inditex adalah perusahaan ritel garmen terbesar di dunia, setelah H&M (Hennes & Mauritz), perusahaan garmen asal Swedia, dan GAP, perusahaan garmen asal Amerika[3]. Inditex terdiri dari tujuh anak perusahaan, yaitu: Skhuaban, Pull and Bear, Massimo Dutti, Bershka, Stradivarius, Oysho dan Zara. Semuanya itu terkumpul menjadi satu nama, yaitu Inditex Group. Dari ketujuh anak perusahaan Inditex, yang menjadi tulang punggung perusahaan adalah Zara, dimana dua-per-tiga total penjualan Inditex berasal dari Zara[4].
              Melihat kesuksesan zara yang begitu luar biasa, penulis telah melakukan analisis untuk mencari tahu strategi bisnis apa yang digunakan oleh Zara sehingga ia dapat berkompetisi mempertahankan bisnis tata busananya terhadap kompetitor yang semakin banyak. Berdasarkan hasil analisis penulis, penulis menemukan dua strategi bisnis yang Zara lakukan agar dapat berkompetisi:
1.      Blue Ocean Strategy atau disebut Strategi Samudra Biru. Menurut, M. Suyanto, seorang ketua STMIK AMIKOM Yogyakarta, Direktur Primagama Group, serta Direktur Pusat Pendidikan Komputer dan Manajemen IMKI (sekolah komputer di Yogyakarta), dalam bukunya yang berjudul smart in entrepreneurship, Blue Ocean Strategy adalah strategi bisnis yang menciptakan ruang pasar yang tidak ada lawannya[5]. Sedangkan menurut Dyah Hasto, seorang wartawan majalah Ekonomi dan Bisnis SWA (Swasembada), dalam bukunya yang berjudul  Advertising that Sells, Blue Ocean Strategy adalah strategi yang menciptakan cara baru yang belum disadari oleh para pesaing, sehingga kata “kompetisi” pun menjadi tidak relevan[6]. Berdasarkan pengertian kedua ahli di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa blue ocean strategy adalah suatu siasat bisnis untuk menaklukan pesaing melalui cara yang inovatif, yang seakan tidak disadari oleh pesaingnya.
           Strategi ini digunakan oleh Zara dimana banyak kompetitor yang masih menggunakan strategi operational effectiveness. Opeerational effectiveness adalah strategi bisnis dengan cara melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan oleh kompetitor, namun melakukannya dengan lebih baik[7]. Pada tahun 2000-2007, banyak perusahaan tata busana yang menggunakan strategi operational effectiveness dengan melakukan outsourcing (produk atau jasa yang diproduksi secara internal, tetapi menggunakan penyedia jasa di luar perusahaan (Chandra:15)[8]) ke China karena biaya karyawan yang relatif lebih murah. Contohnya adalah UNIQLO (baca: u-ni-ku-ro), sebuah perusahaan tata busana asal Jepang yang 90% produk penjualannya diproduksi di China[9]. Zara tidak melakukan strategi operational effectiveness karena strategi ini dapat memunculkan bahaya adanya “kesamaan” produk atau layanan antar perusahaan tata busana. Yang Zara lakukan adalah mengintegrasi permintaan dan pemasokan secara vertikal atau setara dengan cara memproduksi produk secara in-house (memproduksi sendiri secara internal tanpa bantuan jasa dari luar perusahaan / luar negeri[10]) daripada outsourcing.
           Berdasarkan bacaan yang ada, tujuan Zara melakukan in-house adalah:
·         Mempercepat perubahan produk (product turnover). Jika menggunakan outsourcing, suatu produk akan sampai kembali ke perusahaan membutuhkan waktu selama 60 sampai 90 hari. Dengan in-house, produk yang dibuat hanya membutuhkan waktu 12 sampai 15 hari, sehingga Zara dapat dengan cepat mengubah model 2 minggu sekali agar customer tidak bosan dengan model yang ada;
·         Mempermudah pengendalian atau pengontrolan kegiatan produksi busana. Dalam kegiatan produksi in-house ini, Zara menggunakan Teknologi Informasi untuk mengontrol setiap kegiatan yang ada, dari desain lo-fi prototype (desain yang belum menggunakan komputer[11]) sampai desain tersebut menjadi produk. Hal ini dilakukan Zara dengan mensetralisasi (centralized) setiap kegiatan pendesainan, dimana setiap desain busana yang didesain oleh desainer Zara langsung terkoneksi ke PDA (Personal Digital Assistant) manajer toko untuk disaring, kemudian manajer mengirimkannya langsung ke desainer yang ada di Spanyol untuk decision making. Bukan hanya desain, setiap permasalahan yang muncul pada Zara juga langsung terhubung ke pusatnya di Spanyol. Sehingga, melalui in-house pengendalian aktivitas dapat dilakukan dengan begitu mudah; dan
·         Memproduksi produk dengan jumlah sedikit / small batches. Dengan in-house, hal ini sangat memungkinkan karena outsourcing tidak menerima pembuatan produk dengan jumlah yang sedikit, mereka hanya menerima mass-production. Hal ini dilakukan oleh Zara guna untuk menjaga agar toko tetap fresh dengan barang-barang baru setiap dua minggu sekali. Hal ini juga dapat meningkatkan nilai kelangkaan pada setiap produk Zara.
2.      Strategi strategic positioning. Menurut Robert Kaplan, seorang profesor Pengembangan Kepemimpinan (leadership development) Harvard University asal New York, dalam bukunya yang berjudul Harvard Business Review on Advances in Strategy, strategic positioning adalah tindakan untuk melakukan hal yan berbeda dengan kompetitor guna untuk memberikan nilai unik kepada customers[12]. Sedangkan menurut Kerim Galal, seorang dosen Manajemen di Universitas Munster asal Jerman, dalam bukunya yang berjudul Strategic Positioning in the Consulting Industry, strategic positioning adalah tindakan yang memaksa perusahaan untuk mencari keunggulan pada pasar yang ada[13]. Berdasarkan pengertian dua ahli di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa strategic positioning adalah suatu tindakan perusahaan unuk melakukan yang berbeda dari para pesaing guna untuk memperoleh keunggulan di pasar serta nilai unik di mata pelanggan.
         Berdasarkan bacaan yan ada, berikut adalah strategic positioning yang dilakukan oleh Zara:
Ø  Mengintegrasi teknologi dengan aktivitas produksi. Hal ini sangat membantu Zara dalam menentukan desain mana yang unik yang perlu diproduksi. Bukan hanya itu, melalui teknologi informasi yang dikembangkan Zara, teknologi tersebut juga dapat mempercepat pengambilan keputusan oleh manajer pusat Zara yang ada di Spanyol. Sehingga desain-desain yang dikeluarkan Zara benar-benar desain yang unik karena secara implisit telah disetujui oleh semua desainer yang ada di dalam Zara;
Ø  Mengeluarkan model yang berbeda setiap dua minggu sekali. Hal ini membuat pakaian Zara menjadi pakaian yang langka di mata konsumen, sehingga keinginan untuk membeli pada customer meningkat karena takut barang tersebut sudah tidak ada lagi minggu depan untuk selamanya; dan
Ø  Zara membukakan kesempatan bagi para anak muda yang memiliki kesenangan dalam dunia fashion untuk dapat menyampaikan aspirasi mereka langsung ke Zara melalui communication device mereka atau smartphone. Dengan hal tersebut, model yang dikeluarkan Zara menjadi semakin fashionable atau sesuai dengan tata busana yang diingini oleh customer secara global. Melalui ini juga Zara dapat membangun relasi lebih lagi dengan para pembeli.
            Kesimpulannya, terdapat dua strategi bisnis yang Zara lakukan untuk tetap dapat memenangkan kompetisi berdasarkan hasil analisis penulis, yaitu: Blue Ocean Strategy, dimana Zara mencoba keluar dari cara yang digunakan oleh para kompetitor (red ocean) menuju cara yang baru yang belum disadari oleh para kompetitor (blue ocean) yaitu in-house production, dan strategic positioning, dimana Zara mencari jalan yang berbeda untuk dapat memperoleh nilai unik di mata pelanggan. Strategic positioning lebih terfokus pada relasi antar Zara dan customer, sedangkan blue ocean strategy lebih fokus kepada aktivitas operasional internal Zara. Kedua strategi itulah yang menyebabkan Zara sampai saat ini masih dapat memenangkan kompetisi tata busana di dunia dan bahkan dinobatkan sebagai retil tata busana terbesar di dunia.



Daftar Pustaka
[1] http://www.straitstimes.com/news/business/more-business-stories/story/japanese-fashion-label-closing-all-eight-outlets-20150110. 10 Januari 2015. 08:21 WIB.

[2] Badia, Enrique. (2009). Zara and Her Sisters: The Story of the World's Largest Clothing Retailer. Palvrage Macmillan, Stoke.

[3] Torun, Fatma. (2004). ZARA - A European Fashion Brand. Druck and Bindung, Norderstedt.

[4] KPMG. (2003). Ein Ausblick für die Branchen Food, Fashion & Footwear. Trends im, Handel.

[5] M. Suyanto. (2007). Smart in Entrepreneurship: Revolusi Strategis. ANDI Offset, Yogyakarta.

[6] Hasto, Dyah. (2008). Advertising That Sells. Gramedia, Jakarta.

[7] Tripa, Simona. (2007). STRATEGY AND SUSTAINABLE COMPETITIVE ADVANTAGE--THE CASE OF ZARA FASHION CHAIN. Annals, Oradea University.

[8] Suwondo, Chandra. (2003). Outsourcing : Implementasi di Indonesia. Gramedia, Jakarta.

[9] Osius, Ted. (2002). The U.S.-Japan Security Alliance: Why it Matters and how to Strengthen it. Praeger Publisher, USA.

[10] Hall, James. (2011). Information Technology Auditing and Assurance. Cengage Learning, USA.

[11] Laudon, Kenneth. (2012). E-Commerce. Pearson, Inggris.

[12] Kaplan, Robert. (2002). Harvard Business Review on Advances in Strategy. Harvard Business School Press, Boston.

[13] Galal, Kerim. (2014). Strategic Positioning in the Consulting Industry. Josef Eul Verlag, Lohmar.